Selasa, 06 Maret 2012

Damar Kurung Warisan Budaya Gresik


Seni tradisi yang menjadi ikon kebanggaan Kota Gresik, Jawa Timur itu ternyata masih terus menggema. Boleh jadi Masmundari, pelukis perempuan asal Gresik yang memopulerkan seni lukis Damar Kurung, sudah dipanggil oleh Sang Penentu Takdir, pada Desember 2005 silam, dalam usia 101 tahun (ada yang memercayai usianya 115 tahun, red). Tapi, keberadaan Damar Kurung tetap eksis ditakar oleh waktu hingga kini.

Apa yang disebut damar kurung adalah semacam lampion (damar=lampu) berbentuk kotak persegi dari kertas dengan tulang-tulang bambu, ada lampu di tengahnya. Pada sisi-sisi damar kurung itulah Masmundari melukis dengan nuansa yang khas ramadan. Tradisi damar kurung ini memang lekat dengan ramadan, yakni setiap menjelang ramadan ada tradisi menjual damar kurung di Gresik. Hanya sayangnya, tradisi itu kemudian nyaris punah karena tak ada lagi yang melukis damar kurung, kecuali Masmundari satu-satunya.

Damar kurung, lampion(kap lampu tradisional) dari kertas dengan kerangka bambu yang di sisi-sisinya dipenuhi dengan lukisan, adalah karya seni tradisional asli dari kota Gresik. Karya seni lukis lampion dengan design unik, berkarakter polos kekanak-kanakan, berhias warna terang kuning, merah, hijau, dan merah jambu tersebut seakan-akan tidak bisa lepas dari nama besar maestronya; Mbah Masmundari. Ya...Mbah Masmundari dan Damar kurung merupakan aset Gresik, bahkan setelah beliau meninggal.

Mbah masmundari memang patut disebut sebagai seorang maestro. Selain karya lukis damar kurung-nya yang sampai saat ini semakin menjadi rebutan para kolektor seni, juga banyak terpasang di beberapa kantor pemerintahan, dan perusahaan. Di antaranya di Kantor Gubernur Jawa Timur, kantor Pemda Kab. Gresik, kantor PT Semen gresik, PT Petrokimia Gresik, dan lain-lain.Karyanya banyak dikenal masyarakat luas sejak di pamerkan di Bentara Budaya Jakarta, nopember 1987.

Selain itu beberapa Presiden yang pernah berkuasa di negri ini pun sudah pernah bertemu dengan "sang maestro" mulai dari Suharto, BJ Habibie, dan Abdurrahman Wahid. belum lagi Tri Sutrisno, Harmoko, Imam Utomo, dan masih banyak pejabat dan pimpinan perusahaan yang pernah menemuinya dan tentu saja mengkoleksi lukisan damar kurung-nya. Suatu sosok yang populer dan sulit dicari bandingannya di kota Gresik ini.

"Hidup harus terus berkarya. Walaupun sudah mati, orang akan selalu menghargai karya kita sampai kapanpun" kata Mbah Masmundari suatu ketika di usianya yang ke 115 tahun. Suatu totalitas kecintaan terhadap seni dan semangat berkarya yang mengagumkan dan patut selalu kita jadikan tauladan. Terutama bagi warga Gresik.

Apa yang telah beliau berikan semasa hidupnya bagi kelestarian karya seni damar kurung, sudah selayaknya mendapat apresiasi lebih dari pemerintah daerah dan warga Gresik. Dan sudah selayaknya pula kita semua meneruskan apa yan telah beliau wariskan kepada kita semua. yakni dengan melestarikan karya beliau, dan juga menghidupkan seni membuat damar kurung di kalangan masyarakat Gresik. Baik lewat institusi formal maupun informal. Jangan sampai dengan segala kemajuan berpikir dan modernitas yang ada di kota Gresik ini malah mengubur suatu tradisi dan krya seni tradisional yang sudah memberikan nama harum kota gresik

Setelah sempat bertahun-tahun tidak terperhatikan, kurang lebih pada tahun 90-sekian, damar kurung tiba-tiba menjadi heboh karena sering dipamerkan di beberapa kota dan dianggap sebagai karya seni sehingga membuat beberapa pejabat pusat bahkan Presiden menjadi tertarik. Seorang mbah Masmundari yang dilahirkan pada 4 Januari 1904 menjadi pelukis tunggal dibalik itu semua sampai akhirnya oleh Pemda Gresik, damar kurung dijadikan maskot kota Gresik. Namun yang sangat disayangkan adalah kurangnya perhatian yang diberikan oleh Pemda Gresik. Sampai pada saat meninggalnya mbah Masmundari (Sabtu 24/12/2005) dalam usia 101 tahun, tidak terlihat usaha dari Pemda Gresik untuk berusaha melestarikan damar kurung kecuali menjadikannya sebagai maskot dan hanya sekedar menjadi pajangan di tiap perempatan jalan. Padahal dengan karakter lukisan damar kurung yang polos kekanak-kanakan dengan warna-warna terang, kemungkinan untuk melestarikan dengan mengenalkannya ke masyarakat semenjak usia dini lebih terbuka peluangnya. Mungkin pada waktu padusan kemaren anda masih bisa menemukan penjual-penjual damar kurung terutama disekitar kompleks pemakaman Tlogo Pojok tapi kalo anda cermati maka anda akan menemukan gaya lukis -karakter- damar kurung itu sudah berubah, begitupun dengan permainan kombinasi warnanya. Hal itu dikarenakan kita dulu tidak sempat belajar pada mbah Masmundari -semasa hidup- sehingga yang terjadi adalah penjiplakan pola-pola lukisannya sekedar untuk memenuhi tuntutan pasar yang sebenarnya pun sudah jauh berkurang.

Dalam pandangan seni rupa, lukisan-lukisan nenek ini sedemikian unik. Ada yang menyebut bergaya naif, kekanak-kanakan, dan dia melukis seperti meluncur begitu saja. Maka seorang perupa asal Gresik, Imang AW tertarik untuk mengangkatnya dalam khasanah lukisan pada umumnya. Masmundari diminta melukis dengan bahan dan alat melukis yang lebih bagus, melukis di atas selembar kertas, kemudian dibingkai sebagaimana lukisan pada umumnya. Maka jadilah lukisan gaya Masmundari yang menarik banyak kalangan dalam pameran di Jakarta dan hotel-hotel besar serta mendapat perhatian dari petinggi negeri termasuk Presiden RI.

Damar kurung dan Masmundari lantas jadi asset berharga bagi Gresik, dia diundang kemana-mana, pameran dalam berbagai kesempatan, meski ada saja yang tega memperlakukan tidak semestinya. Pemerintah Kabupaten Gresik menjadikan damar kurung sebagai maskot kota, membuat tiruan damar kurung ukuran besar untuk lampu dan monumen kota, anak-anak pun digerakkan melukis gaya damar kurung, hingga akhirnya damar kurung identik menjadi ciri khas kota Gresik. Lagi-lagi, ada juga yang menjadikan Masmundari sebagai pijakan untuk cari keuntungan, mereka hanya butuh master lukisannya, kemudian digandakan berlipat tanpa imbalan apa-apa buat nenek yang masih sehat ini.

Tinggal di kampung Jl.Gubernur Suryo VIII no 41.B Gresik, Masmundari hanya memiliki satu anak, satu cucu, masih terus melukis hingga sekarang. Lampion damar kurungnya ada yang terbuat dari fiber dengan tulang kayu, bukan lagi kertas dan bambu. Termasuk juga lukisan (gaya) damar kurung yang sudah dikemas seperti lukisan pada umumnya. Sayang, di rumahnya tak terlihat sisa-sisa lukisan damar kurung hasil karyanya. Dia sibuk melayani pesanan.

Ketika bertandang ke rumah sang pelukis di Jalan Gubernur Suryo VIIB no. 41 Gresik, Damar Kurung terus diproduksi. Karya itu pun masih bisa dijumpai di banyak sudut kota sebagai penghias gapura, perkantoran, atau rumah-rumah penduduk. Tak aneh, sebab Damar Kurung adalah warisan tradisi turun-temurun, yang kini dilanjutkan oleh anak-cucu Masmundari.
Jauh sebelum dipopulerkan Masmundari, Damar Kurung sudah dibuat oleh leluhurnya. Dalam sebuah kesempatan, Masmundari pernah berujar, “Kulo marisi ndamel Damar Kurung niki saking Bapak kulo, Ki Dalang Sinom. Sanjange Bapak, Nak, sesuk nek bapak ana umure, kon nggawe ngene.'' (Saya mewarisi keterampilan membuat Damar Kurung ini dari bapak saya, Ki Dalang Sinom. Bapak berpesan, besok apabila Bapak sudah meninggal, kamu harus tetap membuat Damar Kurung).

Ia pun berpesan pada anak-cucunya, “Hidup harus berkarya. Orang akan selalu menghargai karya kita sampai kapan pun meski kita sudah mati”. Pesan itu akhirnya melecut semangat generasi berikutnya untuk tetap melanjutkan seni Damar Kurung. Rukayah, anak tunggal Masmundari, mewarisi keahlian melukis Damar Kurung. Tiga cucunya; Nur Hayati (34), Nur Samaji (27), dan Ahmad Andrianto (18) juga memiliki kemampuan yang sama.
Generasi pelanjut itu kini bahu membahu untuk terus melestarikan kesenian Damar Kurung, meski kebanyakan karya yang dibuat itu berdasarkan pesanan para pengoleksi lukisan. Keluarga ini juga makin terbuka dan mulai mengurus Hak Cipta dan Hak Paten untuk karya-karya yang dibuatnya. ”Kami memang bertekad meneruskan seni melukis Damar Kurung yang sudah dirintis eyang, selama puluhan tahun itu,” kata Nur Samaji tegas.

Darah Seni Melanjutkan kesenian tradisi Damar Kurung bagi keluarga ini tampaknya bukan hal susah. Keahlian melukis Nur Samaji misalnya, diakui, mengalir begitu saja tanpa kesulitan berarti. Kemampuan itu sudah diwarisinya sejak belia, sekira usia tujuh tahunan. Awalnya, Nur Samaji menggoreskan pena atau spidol sambil dituntun oleh tangan Mbah Masmundari.
“Waktu itu, rasanya sangat mudah melukis sesuai yang diinginkan eyang. Tangan saya tidak kaku dan goresan pena juga lurus-lurus saja. Setiap kali melukis dengan dipegang tangan eyang, terasa mengalir begitu saja,” kenang Nur Samaji.

Lambat laun kemampuan melukisnya tak lagi tergantung pada bimbingan tangan Masmundari. Makin hari kemahirannya makin mandiri dan lancar menorehkan tinta pena. Sejak itulah ia kian bersemangat berkarya dan terus mematangkan diri hingga kini. Namun, proses kreatif Nur Samaji bukan berarti tanpa kendala. Suatu ketika, hasil lukisannya terpaksa disobek-sobek oleh Masmundari karena dinilai tidak cocok. “Itu pada saat medium lukisan masih kertas. Ketika menggunakan medium kaca, maka kaca itu akan dibanting bila tidak sesuai,” katanya mengenang. Bahkan, ketika medium berganti mika, Masmundari tak kehilangan cara untuk mengoreksi karya cucunya yang tidak benar. Caranya, ia kelupas cat air pada mika dengan kuku-kukunya.
Pada kali lain, Nur Samaji menyodorkan lukisan Damar Kurung hasil kreativitasnya dengan gaya berbeda. Ia memberi ruang agak lengang pada bidang-bidang lukisannya. Alhasil, ia kena semprot sang maestro karena dinilai kurang ramai. Ruang kosong sekeliling tokoh cerita dan pepohonan dalam lukisan itu diberi coretan-coretan lagi membentuk hembusan angin dengan garis-garis putus atau garis lengkung. Gaya ramai dan ceria itu seperti menjadi pakem seni lukis Damar Kurung.

Tak hanya di situ. Nur Samaji juga pernah mengalami kesulitan dalam urusan penceritaan. Karya Damar Kurung yang dibuatnya, kala itu, nyaris tanpa cerita. Ia pun tak pernah capek untuk terus berguru pada eyangnya. “Eyang biasanya agak keras mengkritik hasil karya anak cucunya. Kalau sudah begitu, dia akan dengan senang hati menjelaskan nilai filosofis setiap garis dan warna yang ditorehkan di atas mika atau lampion,” cetusnya.

Seiring waktu, karya dan kemahiran Nur Samaji kian matang. Tak heran bila banyak karyanya sempat diikutkan pada acara pameran lukisan bersama Mbah Masmundari. Termasuk pameran di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) pada Maret 2005 sebagai pameran yang dipersembahkan khusus untuk memeringati seabad usianya. Juga pada Pameran Kerajinan Indonesia Dalam Interior (KIDI) IV di Balai Sidang Senayan Jakarta 1991, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 1990, dan di BBJ pada 1987. “Saya memang banyak membantu eyang dalam berkarya. Tapi saya juga mempelajari kesenian yang ditekuni eyang ini,” tukasnya. Tapi, diakui, ia belum percaya diri untuk tampil memamerkan hasil seni melukisnya sebagaimana yang pernah dilakukan Mbah Masmundari. Ia merasa bahwa hasil lukisannya masih belum sebagus karya eyangnya. Selain untuk stok, karya-karyanya kini banyak berdasarkan pesanan.

Biasanya, menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri pesanan sedang ramai. Beberapa minggu sebelum Ramadhan, Nur Samaji mendapat pesanan dari dua orang. Yang seorang memesan tujuh buah, seorang lagi memesan 30-an buah. Namun, ia hanya mampu memenuhi pesanan seorang yang memesan tujuh buah. Sementara yang seorang lagi minta selesai dalam waktu cepat, sehingga Nur Samaji tak menyanggupinya.

Untuk menyelesaikan pesanan itu, ia melakukan semuanya. Mulai membuat cerita, sketsa, mewarnai, membikin kerangka damar, hingga membentuknya menjadi Damar Kurung. Meski sebagian pekerjaan dibantu oleh ibu, kakak perempuan, dan adiknya. Adiknya, Ahmad Andrianto, juga memiliki kemahiran melukis sehingga dia banyak membantu menorehkan Damar Kurung. Sementara kakak perempuannya biasanya banyak membantu pada soal pewarnaan.

Perjalanan Waktu Karya seni lukis lampion dengan design unik, berkarakter polos kekanak-kanakan, berhias warna terang kuning, merah, hijau, dan merah jambu pada Damar Kurung, hingga sekarang boleh dikata tak bergeser dari gaya serupa karya Masmundari, meski jauh sepeninggal sang maestro. Dulu, kerajinan Damar Kurung dibuat untuk menghibur dan memberikan kesenangan kepada anak-anak yang tengah menanti datangnya shalat Tarawih pada bulan Ramadhan. Itulah sebabnya tema lukisan pada kertas Damar Kurung di masa lalu umumnya berkisah soal kegiatan orang melaksanakan shalat tarawih, tadarus, suasana Idul Fitri, halal bil halal, macapat, pasar malam, pesta khitanan, dan sebagainya.

Namun, seiring waktu, Masmundari juga melakukan perubahan dalam penampilan mulai dari bahan dasar hingga tema-tema kekinian tanpa meninggalkan tema lama bersifat religi. Masmundari mengangkat tema tentang kehidupan nelayan, pesta perkawinan, kehidupan etnis Madura, serta permainan tradisional anak-anak seperti menangkap ikan, menjaring burung.
Bahkan, ia cukup adaptif dengan tema-tema pesanan pemerintah, misalnya program Keluarga Berencana. Belakangan ia juga mengetengahkan tema-tema teknologi, seperti mesin traktor, pesawat terbang, siaran radio dan televisi lengkap dengan antena parabola. Gayanya penuh keceriaan, penuh warna dan penuh bentuk. Hampir tak ada ruang kosong di sana. Di masing-masing bidang itu, figur-figur manusia berjajar berbagi tempat dengan pepohonan, mobil, burung, serta atap-atap tenda dan rumah.

Di samping itu, sebagai putri seorang dalang sinom, sulung dari empat bersaudara ini juga melukis dengan pengaruh kuat dunia wayang. Ia memperlakukan bidang gambarnya seperti geber (layar) wayang. Semua figur yang digambarnya selalu tampak samping. Bentuk wajahnya juga hampir serupa. Hidung lancip dengan mata segaris.

Penempatan gambar yang berderet semacam ini memang menjadi ciri khas Damar Kurung. Sebagai lampion, Damar Kurung akan merefleksikan gambar-gambar tadi secara menarik apalagi saat lampu dalam lampion itu dinyalakan. Gambar akan terlihat bercahaya dan memberikan efek menarik seperti halnya wayang yang juga memainkan gambar di balik layar dan cahaya.

Cara membagi bidang gambar juga memperlihatkan bagaimana ia menganggap lukisannya semacam media bercerita. Bagian atas akan bersambung dengan bagian di bawahnya. Kadang ia membaginya menjadi tiga bidang. Namun, tak menutup kemungkinan ia melukis tanpa pembagian bidang.

Lampion Damar Kurungnya ada yang terbuat dari mika dengan tulang kayu, bukan lagi kertas dan bambu sebagaimana dulu pernah memanfaatkan kertas minyak dengan pewarna dari sumbo. Lukisan (gaya) Damar Kurung juga sudah dikemas seperti lukisan pada umumnya, mempergunakan kanvas dan cat minyak, yang dibingkai dengan kayu bujur sangkar.
Gaya Damar Kurung yang dipopulerkan Mbah Masmundari seperti demikian masih terus berlanjut hingga kini. Karya-karya generasi pelanjut tetap memperlihatkan gaya dan nuansa serupa. Hanya, tema-tema yang diangkat para generasi kini sudah banyak beringsut dari tema-tema lawas Masmundari. Meski diakui Nur Samaji, tiap orang mesti memiliki kekhasan sendiri-sendiri.
Selain tema, bentuk lukisan Nur Samaji boleh dikata nyaris sama. Cara membagi bidang sama. Tokoh-tokoh dalam cerita itu berkesan gemuk-gemuk. Kecuali lukisan adiknya, Ahmad Andrianto, yang tokoh-tokoh dalam lukisan itu digambarkan lebih kurus. “Nggak tahu kenapa, dia cenderung melukis orangnya kurus-kurus,” kata Nur Samaji.

Demikian pula medium kerajinan Damar Kurung yang terus mengalami perubahan. Dulu, lukisan pada kertas yang dikaitkan dengan bambu membentuk kotak. Katanya, medium itu pernah menggunakan kertas yang diapit kaca dan dikaitkan pada kayu berbentuk kota. Kemudian berubah lagi menggunakan medium kaca. “Tapi, melukis pada kaca cenderung bahaya, sehingga kita rubah pada medium lain,” cetusnya.

Hingga kini, medium yang dinilai paling bagus dan mudah, menggunakan mika dan dilukis pakai spidol dan diwarnai dengan cat air. Mika dengan sederet cerita bergambar itu lalu dikaitkan empat sisi pada kayu berbagai ukuran, membentuk kurung damar. Model seperti inilah yang terus diproduksi keluarga Nur Samaji untuk memenuhi pesanan.

Kerajinan Damar Kurung itu pesanan itu dipatok harganya mulai dari Rp 100 ribu hingga jutaan rupiah. Hingga kini pun, Damar Kurung masih banyak digantung di berbagai sudut kota, seperti di pintu gerbang perbatasan antara Surabaya-Gresik. Selain itu, kerajinan tradisi ini juga banyak terpasang di beberapa kantor pemerintahan dan perusahaan, di antaranya di Kantor Gubernur Jawa Timur, kantor Pemerintah Kabupaten Gresik, lobi utama kantor PT Semen Gresik, Petromikia Gresik, dan lain-lain. Meski demikian, tujuan utama keluarga ini lebih pada upaya melestarikan seni tradisi turun-temurun agar tak punah sebagaimana banyak karya para pelukis ternama setelah ditinggal sang maestronya. Berkarya bagi keluarga ini pun bukan hendak mencari penghidupan dari kerajinan ini.

“Kami memenuhi kebutuhan hidup mencari dari sumber lain, bukan dari seni tradisi leluhur ini. Terlalu tinggi bila karya ini dijadikan sebagai sumber penghidupan. Saya sendiri berusaha apa saja untuk memenuhi keperluan hidup. Pernah bekerja di pabrik, menjalankan rental mobil bersama teman, atau menjual besi tua, atau apa asal halal,” tandas pria yang melepas lajang seminggu menjelang Ramadhan itu.

 
Published By SENI BUDAYA